SUMBAR - Sebuah angka menakjubkan tertampang di papan pengumuman Pengadilan Agama (PA) Kota Padang. Sepanjang 21 hari bulan pertama di tahun 2015 ini, perkara cerai yang sudah terdaftar di PA Kota Padang mencapai 110 kasus. Jika diurai berdasarkan hari kerja efektif Januari 2015 ini, baru 14 hari. Artinya, dalam satu hari, dari dari tujuh pasang warga Padang mengajukan gugat cerai.
Menurut Ketua Panitera Muda Hukum PA Padang, Yelti Mulfi, perkembangan tersebut makin me-nunjukkan trend perceraian pasangan suami istri akan mengalami pe¬ningkatan di tahun 2015 ini, jika dibanding tahun 2014. Pada tahun lalu itu, perkara cerai yang masuk ke PA mencapai 1.450 perkara.
Dalam lima tahun terakhir, tercatat perkara yang masuk ke PA Padang mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Di tahun 2010 perkara yang masuk ke PA 952 perkara, 2011 sebanyak 1.071 perkara, 2012 perkara yang masuk ke PA sebanyak 1.203 perkara, tahun 2013 perkara kasus gugat cerai sebanyak 1.235 perkara dan di tahun 2014 meningkat draktis mencapai 1.450.
Dijelaskan Yelti yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (21/1), faktor yang paling dominan penyebab perceraian yakni ketidak¬harmonisan dalam keluarga. Kasus tersebut didominasi oleh pekerja atau buruh. Ia memprediksi hal ini menunjukkan semakin tidak sakral¬nya perkawinan oleh masya¬rakat. Tidak hanya itu saja, faktor-faktor penyebab perceraian juga hal yang sepele seperti cemburu, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, gangguan pihak ketika.
“Dari kasus tersebut paling ba¬nyak istri gugat cerai suami,” jelas Yelti.
Ia menambahkan, Majelis Ha¬kim Pengadilan Agama Kota Padang sebelum memutuskan kasus perceraian melakukan proses media¬si untuk mendamaikan antara pihak suami dan istri sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2008 yakni selama 40 hari.
“Yang sulit kita proses ketika antara pengadu dengan yang menga¬dukan tidak serius untuk bercerai. Setiap kali sidang selalu saja ada pihak yang tidak datang,” ucap Yelti.
Dalam persidangan, upaya dari hakim mediator PA Kota Padang untuk melakukan mediasi dan men¬damaikan antara pihak suami dan istri sering mengalami kegagalan, sehingga proses persidangan perce¬raian tetap dilanjutkan sampai ke¬luar¬nya putusan majelis hakim. Jika tidak kunjung selesai hingga waktu 6 bulan maka akan diajukan ke MK.
“Untuk kasus perceraian kate¬gori cerai talak, yakni suami yang menceraikan istri tidak terlalu banyak dan rata-rata alasannya pihak istri berselingkuh dengan laki-laki lain,”ujarnya.
Dia memprediksikan di tahun 2015 ini kasus perceraian akan terus meningkat. Bulan Januari tanggal 20 ini saja sudah 110 perkara yang masuk ke PA. menurut Yelti, angka di awal tahun ini sudah bisa dikate¬gorikan akan terjadi kenaikan lagi di tahun 2015 ini. Dari total perkara tahun 2015 yakni 110 kasus, yang sudah bercerai 97 kasus,dan pemo¬hon sebanyak 11 kasus.
“Warga yang paling banyak bercerai di tahun 2014 lalu itu berasal dari Kecamatan Koto Ta¬ngah yang mencapai 600 kasus. Faktor perceraian paling tinggi yakni 700 kasus keti¬dak¬har¬mo¬nisan da¬lam keluarga. Sedang¬kan kasus per¬kara yang paling tinggi tahun 2014 yakni cerai gugat oleh istri,” jelasnya.
Kemudian menyusul penyebab perceraian tahun 2014 paling tinggi adalah tidak harmonis seba-nyak 548, tidak ada tanggungjawab 342, krisis akhlak 18 perkara, cemburu 18 kasus, ekonomi 39 kasus, dan tidak ada tanggungjawab sebanyak 169 kasus. Sedangkan dari jenis pekerjaan menurut Yelti dido¬minasi oleh buruh atau swasta sebanyak 635 kasus, PNS/ Polri/ TNI / Pensiun sebanyak 131 dan tidak ada pekerjaan sebanyak 355 kasus. Usia paling dominan bercerai dari tahun ketahun umur 21-40 tahun.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang Duski Samad ketika dihubungi kemarin (21/1) menyayangkan terjadinya perce¬raian di usia produktif. Apalagi, setiap tahunnya selalu mengalami pening¬katan, dia menilai pernikahan bagi umat islam saat ini tidak lagi diang¬gap sebagai ibadah. Padahal, perni¬kahan itu ibadah dan harus diper¬tanggungjawabkan. Apalagi, penga¬wasan orang tua terhadap pergaulan anak muda juga ikut mempengaruhi tingginya tingkat perceraian.
“Asal muasal pernikahan itu juga harus didudukkan,” ucapnya.
Ia menambahkan, jika selalu terjadi lonjakan perceraian setiap tahun, sebaiknya sebelum menikah harus dibuat perjanjian tertulis atau komitmen di depan KUA. “Jangan menikah karena sudah hamil du¬luan, jelas jadi bumerang di kemu¬dian hari. Atau menyepelekan ijab kabul. Kita berharap kepada orang tua sebelum menikahkan putra putri mereka harus bertanya dulu, apakah sudah serius membina rumah tangga,” tutup Duski Samad.
sumber :http://www.harianhaluan.com/

About the Author

0 comments: